Sabtu, 24 Januari 2009

REFORMASI

REFORMASI

SEMENJAK tahun 1998, suatu kata yang sangat terkenal adalah “reformasi” dan sudah lebih sepuluh tahun banyak orang menyesalkan sampai sekarang reformasi belum selesai, sebenarnya reformasi tidak akan pernah selesai, dan akan terus bergulir sampai akhir zaman.
Budaya Minang telah lama mengenal reformasi, hal ini dapat suatu istilah “lapuak-lapuak dikajangi, using-usang, dibarui” terjemahan dalam bahasa Indonesia, kalau lapuk diganti, kalau usang (tidak sesuai zaman) di perbarui.
Ibarat, sebuah banguan rumah, karena usia, hujan dan panas, aka nada bagian-bagian rumah yang yang lapuk, genteng yang pecah, kusen yang lapuk, bagian-bagian kecil ini diganti dengan yang baru, atau kalau ada yang perlu disanggah, ya disanggah.
Namun ruhah yang ada tersebut, tidak cocok lagi dengan perkembangan zaman, atau kebutuhan orang penghuni rumah berubah, maka dilakukan penggantian, atau penyesuaian-penyesuaian. Lapuak lapuak dikajangi, usang-usang dibarui, tanpa merubah fondasi rumah tersebut. Kalau mengganti sendi, artinya sudah membangun rumah baru.
Di Dunia yang fana ini tentu akan selalu terjadi perubahan. Perubahan karena lingkungan yang berubah, perubah karena kebutuhan, harapan dan selera yang berubah, berubah karena perubahan teknologi dan lain sebagainya. Apa pun perubahan, dalam Adat Minangkabau ada satu yang tidak boleh berubah, kalau adat tersebut, habislah ke-Minangkabau-an-nya.
Adat di Minangkabau ada empat macam, 1) Adat sebenar adat, 2) ada istiadat, 3) ada teradat dan 4) adat yang diadat. Hanya “adat sebenar adat” yang tidak boleh dirubah, sampai kapanpun, yakni “Adat bersenda syarak, syarak bersendi kitabullah (al-Quran). Jadi adat yang bersendi atau merujuk kepada Islam, Islam yang merujuk pada al-Quran. Jadi adat yang bersendi pada ajaran yang tercantum dalam al-Quran. Al-Quran sudah merupakan janji Allah tidak akan berubah, karena quran merupakan sunah Allah yang disampaikan melalui Rasulluhan, rasul yang terakhir adalah Nabi Muhammad SAW, tidak ada rasul lagi, maka Quran yang ada tidak akan berubah lagi.
Adat yang lain akan selalu berubah, yang secara tidak sadar berubah, dikembalikan pada ajara al-Quran, karena perubahan zaman adat bisa diganti, tetapi adat sebenar adat tidak boleh dirubah, adat-adat yang lain bias dirubah, namun semua merujuk pada pada syarak yang akhirnya berhulu pada al-Quran.
Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kibaullah, sebenarnya bukan hanya adat Minangkabau yang mengatakan itu, tetapi juga pada adat Melayu.
Kemudian, dalam pepatah lain dikatakan, “syarak mengato, adat memakai” artinya, agama adalah hukum atau kebijakan, adat pelaksanaan. Pelaksanaan yang merujuk pada kebijaksanaan.
Dalam ke Indonesiaan, sendi adalah Pancasila, sendi utama dari Pancasila tersebut adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Bagaimanpun reformasi tidak boleh merubah Pancasila, kalau sudah sangat terpaksa harus merubah sila-sila yang ada, tidak boleh merubah Ketuhanan Yang Maha Esa, karena kalau itu dirubah, maka ke-Indonesia-nya sudah bubar.
Kalau orang Minang, sudah keluar dari adat bersenda syarak, syarak bersendi kitabullah, secara adat ia bukan orang Minang lagi, ia hanya keturuan orang Minang secara biologis. Orang Indonesia yang tidak mengakui Pancasila, dan dalam kehidupan tidak menerapkan Pancasila, dan tidak ber- Ketuhanan Yang Esa, ia bukan lagi bangsa Indonesia, tetapi sebagai warga negara saja. Oleh sebab itu salah satu persyaratan menjadi pejabat negara harus orang yang takwa (beriman, patuh dan taat kepada ajaran agamanya).
Reformasi tidak akan pernah berhenti, berlanjutnya reformasi Indonesia tetap merujuk pada Pancasila, reformasi dilaksanakan karena adanya perubahan zaman, juga reformasi untuk mengembalikan yang menyimpang dari Pancasila. Itu makna luas, dari pepatah adat Minangkabau “Lapuak-lapuak dikajangi, usang-usang dibarui. (Dasril Daniel, Jambi, 25 Januari 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar