Kamis, 18 Juni 2009

WIN-WIN …….

Kita sering mendengan kata-kata win-win solution, win-win calaboration, atau sama-sama untung, saling menguntungkan. Win-win solution adalah suatu pemecahan masalah yang enak bagi semua pihak. Kalau semua pihak sama-sama enak maka solusi itu akan bertahan lama.
Win-win colaboration juga demikian, kerjasama yang saling menguntungkan akan awet. Tetapi kerjasama yang satu untuk yang lain rugi (buntung), tentu tidak ada yang mau rugi. Kendati ada yang mau rugi lama-lama bangkrut, kerjasama bubar.
Dalam perniagaan atau bisnis win-win calaboration ini sangat penting. Baik antara konsumen dengan pedagang, pedagang dengan produsen, pengusaha dengan pemerintah. Pepatah minang mengajarkan “lamak diawak, katuju dek uran” artinya “enak oleh kita, orang juga senang”.
Pemerintah dengan rakyatpun demikian, kebijakan yang dibuat seperti peraturan perundang-undangan dibuat yang enak dilaksankan oleh pemerintah, rakyat senang mejalankannnya, maka kebijakan itu akan jalan.
Untuk dapat menacap win-win solution / colaboration, tersebut harus dilakukan musyawarah atau negosiasi guna menciptakan win-win tersebut “duduak basamo, balapang-lapang duduak surang basampik-sampiek” dalam perundingan yang bisa menghasilakan win-win bila berunding dengan kesetaraan “duduak samo randah, tagak samo tinggi” untuk mencapai kesepakatan, “bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mupakaik” kemufakatan yang win-win akan dilaksankan oleh para pihak, “kok bulek bisa digolongkan, kok picak bisa dilayangkan”

Dalam pemufakatan bisa terjadi hasil yang win-loss, ada yang diuntungkan dan ada pihak yang dirugikan, ini terjadi perundingan atau kemufakatan yang tidak setara, sehingga yang kuat memaksakan kehenda, itu namanya kemufakatan “antimun jo durian, gesoh begesoh antimun juo nan rusak”. Untuk dapat dapat perundingan atau kemufakatan itu setara, harus dilakukan “sabalun mancubiek urang, cubiek diri dulu” artinya pahami orang lain. Seorang negosiator adalah “urang nan ba padang lapang” Sesudah itu “amuah batulak ansua” sehingga menghasilkan kesepakatan yang “lamak dek awak katuju diuran”, dalam negosiasi tersebut diperlukan komunikator yang baik, komunikator yang bukan orang “yang mananam tabu di bibiah” tapi orang yang bijak menyampaikan buah pikiran, perasaan dan gagasan dan memahami orang lain. Orang yang pandai bijak bertutur kata “Kalau pandai mengicek, sarupo santan jo tangguli kalau indak pandai mengicek bantuak alu pancukiah duri, alu patah, duri indak kalua, kaki ancuah”.

Ada perundingan yang sama-sama rugi, tidak ada yang menang, atau “loss-loss solution” ini terjadi kalau ada konflik, dalam penyelesaian konflik tidak ada yang menang, semua pihak akan rugi, oleh sebab itu, jangan diciptakan konflik, karena “nan ciek jadi arang nan lain jadi abu” sama-sama rugi. Komflik terjadi karena “Nan gadang ka malendoh, nan ketek ka manyusuak” oleh sebab itu saling pengertian, saling menghargai sangat perlu dan saling membantu. (Jambi, 19 Juni 2009, Dasril Daniel, Pengajar Teknik Negosiasi, STIPOL NH JAMBI)

Sabtu, 07 Maret 2009

KIAT MENGHADAPI KRISIS

Apakah kehidupan termasuk ekonomi, tidaklah datar atau selalu meningkat. Tetapi hidup ini bergelombang, kadang kala menanjak dan menukik turun, tidak akan panas sepanjang siang, kadangkala hujan di tengah hari. Itulah yang disebut dinamika hidup. Masa yang akan dating adalah misteri, itu kekuasaan Tuhan, yang kita punya adalah pengharapan, cita-cita, doa, kerja keras dan prakiraan. Kalau bisa memahami dinamika hidup, semua keadaan, masalah bahkan krisis diletakan secara proporsional, dan tidak akan menimbulkan dipresi, putus asa, hilang harapan dan diakhiri dengan mengakhiri hidup. Kalau diletakan secara proporsional, hanya dinamika hidup, tidak akan mengalami stress yang berlebihan, dan akan menimbulkan pemikiran kreatif dan inovasi baru. Sehingga masalah, kesulitan bahkan krisis dapat diambil hikmanya, dan kita bangkit.

Tetua Minang mengingatkan, sesudah jalan mendaki ada penurunan, diujung penurunan ada pendakian, saat mendaki ingat penurunan, artinya menyiapkan diri (fisik, mental, pikiran dan keuangan), ingek tabiang nan ka rutuah, ingek dahan nan kamanimpo, ingek rating nan ka mamcuuak. Artinya hidup harus selalu menghadapi masa yang akan dating.

Diujuang penurunan ada pendakian, diujung krisis ada harapan, peluang dan suasana baru, kita siapkan pula pemikian dan semangat menghadapinya. Yang penting modal jangan sampai habis, yakni semangat, kejujuran, relasi, pikiran positif itu tetap ada, modal yang lain bisa tipis digerogoti oleh krisis.

Pepatah minang mengatakan, ado indak dimakan, alah indak ado baru dimakan. Artinya, sesuatu yang berlebih disaat kondisi baik, ditabung, di asuransikan, kalau dalam kedaan krisis, maka hal ini dimanfaatkan, jadi hantaman krisis dapat diredam, tidak menyentuh kondisi minimal. Jadi ada budaya menabung. Tidak semuanya dikonsumsi berapa dapat.

Krisis ekonomi dewasa ini akibat dari hilangnya budaya menabung, berkembangnya budaya krediti konsumsi sejalan maraknya kartu krediti. Artinya budaya mengkonsumsi pendapatan yang akan dating. Kejadian yang luar biasa ini terjadi dinegara maju, begitu masalah ekonomi menyentuh, yang terjadi morat marit, kredit macet, ekonominya menjadi krisis, dan melebar efek domino sampai keberbagai Negara, termasuk Indonesia.

Bayang-bayang satinggi badan, hidup harus porposonal, bukan gadang pasak dari tiang, gadang singguluan dari baban, artinya gaya hidup disesuaikan kemampuan, dan sebagian ditabung/investasi.
Hidup sederhan sangat dibutuhkan, karena dengan hidup sederhana tahan dengan segala kondisi, hidup boros, bermewah-mewah, glamor, dan berlebihan akan sangat susah menyesuaikan diri, karena menurunkan gaya hidup itu akan menekan bathin sendiri, dan bisa menimbulkan dipresi, kalau sudah demikian susah untuk bangkit. Oleh sebab itu dari pada bermewah mewah yang menghabiskan sumber daya, lebih baik menabung di Bank atau investasi yang menciptakan lapangan kerja baru bagi orang lain. Jadi agar tahan menghadapi krisis, jalani hidup sederhana, kebahagian terletah pada Qalbu kita masing-masing, bukan dikemewahan.

Krisis telah dating, yakini diri, krisis akan berlalu, di ujung malam ada fajar menyinsing, kecerahan dan harapan baru. Maka sipakan diri. Jangan sekali-kali merasa, berpikir, atau mengucapkan kata-kata mati kita, atau mati aku, tetapi apa akal, apa upaya, apa yang bisa kita lakukan. Lakukan apa yang bisa kita lakukan, jangan pernah mengeluh. Mengeluh artinya merusak diri, keluarga dan lingkungan.

Labiah hati kurang hati, dek hati mati, dek mato buto, artinya yang menjadi penetu itu adalah hati / heard / qalbu / semangat, ini yang perlu dipelihara saat krisis. Maka akal dan tubuh akan digerakan oleh hati tersebut untuk mengatasi krisis itu, dengan izin Allah krisis akan cepat berlalu. (Dasril Daniel, Jambi, 08/03/09)

Sabtu, 07 Februari 2009

KIAT BISNIS

Sudah terkenal di tanah air, orang Minang adalah saudagar atau pengusaha sedari dulu, banyak pengusaha Minang yang sukses pada masa lampau, tetapi tidak sekarang, dewasa ini tidak ada orang Minang yang menjadi konglomerat, paling-paling, pengusaha menegah, ada kemunduran dibanding masa lalu, artinya saudagar minang dewasa ini dalam keadaan seperti “BATANG TARANDAM” dan harus bangkit atau direvitalisasi, atau “mambangkik batang tarandam” oleh sebab itu perlu reformasi saudagar Minang. Gerakan itu sudah ada dengan diselenggarakan Forum Saudagar Minang.
Kalau mau reformasi dan revitalisas, kita kembali kepada kiat bisnis Minang. Kiatnya adalah:
1. Alun tajua, lah tabali. Artinya kalau berdagang atau berusaha apa saja, adalah produk (barang atau jasa) yang laku dipasar atau dengan kata lain market oriented”.
2. Imek, atau hemat dalam penegrtian efisien, tingkat efisiensi akan menetukan daya saing, semakin tinggi efisiensi, semakin tinggi pula daya saing.
3. Ingek, ingek rantiang nan ka mancucuak, ingek dahan nan ka manimpo, ingek batu nan kamanaruang, ingat apa resiko yang akan timbul, karena semua usaha pasti ada resiko. Arinya “risk managemet” dilaksanakan.
4. Bakulimek, artinya cermat, cermat mengkalkusasi, cernat dalam transaksi, cermat dalam pengendalian mutu. Hal ini yang dilaksanakan oleh bangsa Jepang dalam berbisni, sehingga mampu menjadi pengusaha kelas global.
5. Labo saketek, untuang banyak. Labo (laba) sama saja dengan Untung (untuang), tetapi dalam istilah ini adalah mengambil keuntungan persatuan rendah, dengan demikian bisa laku banyak, sehingga total keuntungan persatuan waktu menjadi besar.
6. Nan rancak, katokan rancak, nan buruak katokan buruak, nan rancak dijua, nan buruak dimakan. Artinya jujur dalam mutu, tidak melakukan penipuan mutu dengan mencampur, atau menipu mutu sehingga kehilangan kepercayaan, karena kepercaan dalam dunia usaha adalah modal. Barang yang tidak layak jual, tidak di jual.
7. Indak bakadai di rumah, tapi bakadai di pasa. Artinya tidak bedagang di kebun, di sentra produksi, tetapi mendekati konsumen, antar daerah atau ekspor, atau istilah utility of place, oleh karena itu saudagar Minang berdagang kemana-mana, atau pedagang keliling. Kita perhatikan petani sekarang lebih senang berdagang di kebun, akhirnya tidak mendapat harga yang layak.
8. Bialah tanduak ba luluak, asa muncuang lai manganai, menghormati konsumen, walau calon konsumen belum tentu membeli, atau sudah mengobok-obok barang senyum tetap ditebar. Lawaupun perlu kerja keras, asal barang laku.
9. Duduak sorang basampik-sampiek, duduak basamo balapang-lapang. Dalam hal ini berdagang sendirin belum tentu baik, bisa tidak laku, karena konsumen tidak punya pembanding, jadi toko yang terpencil tidak akan laku. Tetapi kalau berkelompok, malah laku. Sebelah toko adalah pesaing, saingan dalam bisnis merupakan vitamin atau hormon. Kenadat bersaing, tetapi juga berkolaborasi juga, toko kelontong misalnya ada orang yang akan membeli sabun cap tertentu, kebetulan di tokonya tidak ada, diambilkan dari toko tetanga, tidak ambil untung, tetapi orang tersebut akan beli odol di tokonya. Mereka bersaing di pelayanan, penampilan toko, tidak bersaing diharga, mereka bersaing sekaligus berkolaborasi dan bersahabat, demikian juga dalam jual beli partai besar, pokoknya “apo nan ditanyo ado, apo dikandak dapek” mereka akan memenuhi semua kehendak konsumen, maka ia harus punya networking yang baik, kendati dengan saingan.
10. Muluik manih, kucindan murah artinya pelayanan dengan senyum dan tutur kata yang santun, komunikasi baik dalam bernegosiasi, kendati ditawar dengan harga yang ekstrim rendah.
11. Janji binaso mukiah, titian binaso lapuak, artinya berkomitmen terhadap janji atau kesepakatan, apapun risikonya.
12. Manimbang adiah, manggantang panuah. Artnya dalam menakar sesuai dengan standar
13. Sakali lancuang kaujian, saumuah hiduik urang indak picayo. Jadi hati-hati dalam berbisnis, sekali orang kecewa, susah mengembalikan nama baik, karena itu menjaga kridibilitas dengan mitra.
14. Utang batagiah, pitaruah bajago, artinya hak harus dituntut, kepercayaan orang dipelihara.
15. Selamat pagi otang minang adalah “apo kaba” artinya menanyakan informasi, karena informsi sangat penting dalam bisnis.
16. Dan berbagai-bagai kata bersayap lainnya.
Coba bandingkan dengan kaidah-kaidah bisnis modern sekarang yang banyak dikembangkan oleh negara asing, negara-negara yang menguasai bisnis global, dengan kata-kata bersayap diatas, kok saudagar minang sekarang ini secara nasional saja tidak bisa bicara, atau hanya ada satu dua orang saja, mungkin sudah lupa petuah nenek moyang, atau yang tua tidak menafsirkankannya kepada yang lebih muda sesuai denga perkembangan alam pikirannya, dan barangkali juga lupa mentransfer semangat saudagar tersebut, atau mungkin ada suatu keadaan dimana “Orang Minang” ditekan atau tertekan, saatnya membangkit batang tarandam saudagar minang, saudagar minang anak ibu pertiwi juga.(Dasril Daniel, Jambi,070209)

Sabtu, 31 Januari 2009

NEGOSIASI

Negosiasi adalah suatu peristiwa harian yang kita lakukan baik sadar maupun tidak sadar, kita tawar menawar di pasar tradisonal, membuat janji bertemu mitra, pacar, teman dan lain sebaginya, kita rapat, musyawarah untuk mencari kesepakatan, kita berunding dalam rangkan bisnis pada perusahan-perusahan besar, parlemen bersidang mencari kesepakatan dalam menyetujui suatu undang-undang, negara dengan negara juga berunding baik bilateral maupun multilateral untuk mencapai kesepakatan, negara bermusuhan juga berunding untuk mencapai kesepakatan damai atau menyelesaikan konflik.
Berunding terjadi karena ada perbedaan kepentingan, namun mempunya tujuan yang sama untuk mencapai kesepakatan dan berkomitmen melakukan komitmenya. Hasil terbaik yang hendak dicapai adalah sama-sama menang (win-win), tetapi yang bias terjadi adalah kalah menang, atau kalah-kalah.
Berunding dalam pada budaya Minang dikatakan “duduak surang basampiek-sampiek, duduak basamo balapang-lapang” bila sesuatu dipikirkan sendiri atau dikerjakan sendiri, hidup akan susah, tetapi kalau dipikirkan bersama-sama dan dikerjakan bersama, hidup akan mudah.
Perundingan dikatakan juga “barundiang untuak macari kato sapakat” kata sepakat yang utuh, sehingga bias direalisasikan oleh para pihak dan dikatakan “bulek aia dek pambuluh, bulek kato dek mupakat, kok bulek bias digolongkan, kok picak bias dilayangkan” artinya kesepakatan yang utuh dari perundingan, kesepakat yang dapat dilaksanakan oleh para pihak yang berunding dan membuat kesepakatan tersebut.
Kesepakatan yang tidak utuh dan dipaksakan tidak menghasilkan kesepakatan yang dengan sukarela dilaksanakan oleh para pihak itu dikatakan “bulek basandiang” atau bulat tetapi bersegi, jadi kalau digelindingan tidak baik, bias tersangkut atau mudah berhenti ditengah sebelum sampai tujuan. Ini terjadi pada negosiasi menang kalah (win loss).
Perundingan yang tidak seimbang tersebut sering terjadi pada negara kuat dengan negara lemah, antara pejabat dengan bawahannya, antara CEO dengan menejernya, antara partai besar dengan partai kecil dan seterusnya. Ini terjadi kalau “gadang nak malendoh, barek nak maimpik” artinya besar hendak menabrak yang kecil, yang berat hendak menghimpit atau menginjak yang kecil. Seharusnya “Gadang nak manyayang” yang besar mengayomi yang kecil, yang kaya mengayomi yang miskin, yang pandai mengajar yang bodoh), hasilnya adalah yang kecil, miskin, bodoh akan menghormati yang kuat, besar, pandai, dan kaya hidup jadi harmonis dalam perbedaan. Sebalinya yang kuat menginjak yang lemah, yang besar menabrak yang kecil, yang kaya mengambil rezeki yang miskin, yang pandai membodohi yang yang bodoh, hidup dalam perbedaan dengan konflik, tidak nyaman. Yang kuat tambah kuat, yang besar tambah besar, yang kaya tambah kaya, yang pandai tambah pandai, sebaliknya yang lemah tambah lemah, yang kecil tambah kecil, yang miskin tambah miskin, yang bodoh tambah bodoh akhirnya mereka yang kecil-kecil ini mengecil menjadi duri, dan menusuk daging yang besar, hidup tidak yang besar jadi tidak nyaman pula, celakanya bagai mana kalau yang kecil jadi semut masuk kekuping gajah, yang akhirnya membanting kepalanya kebatu sampai pecah. Kecil ada kelebihan, besar ada kelemahan, tidak ada manusia yang sempurna. Itu sebabnya harus dihindari perundingan yang hasilnya kalah menang.
Hasil yang ketiga, kalah-kalah (loss-loss), ini terjadi perundingan pada perundingan dalam rangka menyelesaikan konflik, oleh sebab itu hidari konflik, karena untuk berdamai atau menyelesaikan konflik harus semua pihak kalah, pilihanya kalah dipaksa, atau kalah mengalah. Mengalah untuk menang. “mangalah kalau lai ka manang”. Kalau tidak mau kalah-kalah, jangan berunding kalah menang, atau jangan memaksakan kehendak.
Kapan berunding, kata bijak mengatakan “barundiang sasudah makan, bakato salapeh arak”, bukan orang Minang tukang makan karena banyak restoran Padang, tetapi berunding dalam kedaan tidak lapar, berbicara tidak dalam keadaan letih. Kalau berunding dalam keadaan lapar dan letih pikiran tidak jernih, semua aspek tidak terkaji, bias saja tercapai kesepakatan yang merugikan tanpa disadari.
Tetapi salah satu pihak yang menginginkan perundingan dimenangkannya strategi melaparkan dan melelahkan sering diciptakan, sebagai suatu strategi, itulah rapat perundingan marathon berjam-jam sehingga bias memaksakan kehendak, ini perlu dipehtikan oleh para perunding(Dasril Daniel 310109)

Minggu, 25 Januari 2009

KOMUNIKASI

DALAM hidup kita tidak, bias sendiri, kita makhluk social, yang harus berhubungan dengan orang lain, maka berkomunikasi dengan orang merupakan suatu keharusan, berkomunikasi dengan anak-istri atau suami, berkumunikasi dengan tetangga, berkomunikasi dengan dengan teman sekantor, seprofesi, seorganisasi, separtai, dan seterusnya.
Komunikasi adalah upaya untuk menyampaikan pikiran dan prasaan seseorang dengan orang lain tahu, mengerti, paham dan dengan sukarela mau mengikuti apa yang kita kehendaki, dan sebaliknya.
Banyak cara untuk berkomunikasi, tetapi yang paling umum dan banyak digunakan melalui pembicaraan atau tulisan, atau papun caranya komunikan (orang yang menerima pesan memahami apa yang disampaikan komunikator baik langsung maupun tidak langsung (media komunikasi), dan diharapkan adanya umpan balik (feedback) yang menyenangkan kedua belah pihak, sehingga ada sesuatu tindak lanjut yang sama-sama memuaskan kedua belah pihak.
Pepatah minang mengatakan, “kok pandai mangicek, bantuak santan jo tangguli, kalau indak pandai mangicek, bantuak alu pancukiah duri, alunyo patah, kaki hancuuah, duri indak kalua”. Terjemahannya adalah, “ kalau pandai berbicara (berkomunikasi, mengeluarkan pendapat dan peraan), seperti santan dicampur gula merah (enak, manis gurih, legit), kalau tidak pandai bebicara, seperti alu (alat penumbuk pada lesung), pencongkel duri (pada telapak kaki yang bias kena duri), kaki hancur ditumbuk alu, alu patah karena kuatnya menumbuk, duri tidak keluar (maksud tidak tercapai, masalah tidak selesai, tambah masalah baru, dan timbul pula kerugian baru).
Apakah tidak seperti itu sekarang, komunikasi antara elit, komunikasi politik, komunikasi rakyat dengan pemerintah, komunikasi pemerintah dengan rakyat, komunikasi antara partai politik, komunikasi antara lembaga negara dan serus seterunya.
Kadangkala, bukan substansial yang membuat masalah, tetapi salah momen, salah cara, salah pilihan kata, tetapi juga salah yang tidak disengaja, mungkin salah yang disengaja karena ada kepentingan pribadi atau kelompok yang berlebihan, mengalah kepentingan orang banyak rakyat.
Pepatah Minang mengajarkan, “gadang indak melendoh, ketek indak menyundik” artinya “besar (kekuasaan, kekayaan, pengaruh) tidak untuk menginjak, kecil (kekuasaan, kekayaan, pengaruh) tidak untuk merongrong). Karena membuat hidup tidak nyaman. Selanjutnya “ nan gadang manyayang nan ketek, nan ketek manghormati nan gadang” besar atau kecil bias itu nasib atau takdir, tetapi sama-sama dibutuhkan dalam kehidupan. Hidup harmonis dalam perbedaan “ kayu dalam rimbo indak ado nan samo tinggi” perbedaan pasti ada.
Mengapa gadang melendoh, ketek manyondik, karena mungkin besar bukan karena dianjuang orang banyak, tetapi dengan cara lain, mungkin karena politik uang, bujuk rayu, atau tipu politik, besar disini bukan ditujukan yang memerintah, tetapi besar di parlemen, besar di bisnis, besar di oraganisasi. Orang besar karena dianjuang orang banyak, (di tinggi orang lain, adalah orang yang menyangi orang banyak, berapa yang ada sekarang orang besar karena menyayangi, mengayomi, melayani orang banyak). Rebab saja yang akan menyampaikan.
Dalam komunikasi, harus mampu mengendalikan diri “harimau dalam paruik, kambiang juo nan kalua” artinya, bukan komunikasi munafik, tetapi komunikasi yang penuh pengendalian diri dan emosi, pandai memlik waktu, cara, media, dan kata-kata, dan pandai berargumentasi. Yang pantas berbisik ya berbisik, yang perlu dalam forum terbatas, pada forum terbatas, yang melalui media public, melalui media public, yang pantas melalui media massa ya melalui media massa. Masak menasehati kawan berteriak melalui media masa, masak menuntut pakai kata-kata pokonya, seperti orang berbuat untuk kita saja. Pilih kata-kata yang tepat dan santun, kata yang tidak santun akan dibalas juga dengan kata yang tidak santun, itulah alu pencongkel duri, itulah harimau dalam perut, harimau juga yang keluar. Itulah yang kita rasakan sekarang. (Dasril Daniel, Jambi, 250109)

Sabtu, 24 Januari 2009

REFORMASI

REFORMASI

SEMENJAK tahun 1998, suatu kata yang sangat terkenal adalah “reformasi” dan sudah lebih sepuluh tahun banyak orang menyesalkan sampai sekarang reformasi belum selesai, sebenarnya reformasi tidak akan pernah selesai, dan akan terus bergulir sampai akhir zaman.
Budaya Minang telah lama mengenal reformasi, hal ini dapat suatu istilah “lapuak-lapuak dikajangi, using-usang, dibarui” terjemahan dalam bahasa Indonesia, kalau lapuk diganti, kalau usang (tidak sesuai zaman) di perbarui.
Ibarat, sebuah banguan rumah, karena usia, hujan dan panas, aka nada bagian-bagian rumah yang yang lapuk, genteng yang pecah, kusen yang lapuk, bagian-bagian kecil ini diganti dengan yang baru, atau kalau ada yang perlu disanggah, ya disanggah.
Namun ruhah yang ada tersebut, tidak cocok lagi dengan perkembangan zaman, atau kebutuhan orang penghuni rumah berubah, maka dilakukan penggantian, atau penyesuaian-penyesuaian. Lapuak lapuak dikajangi, usang-usang dibarui, tanpa merubah fondasi rumah tersebut. Kalau mengganti sendi, artinya sudah membangun rumah baru.
Di Dunia yang fana ini tentu akan selalu terjadi perubahan. Perubahan karena lingkungan yang berubah, perubah karena kebutuhan, harapan dan selera yang berubah, berubah karena perubahan teknologi dan lain sebagainya. Apa pun perubahan, dalam Adat Minangkabau ada satu yang tidak boleh berubah, kalau adat tersebut, habislah ke-Minangkabau-an-nya.
Adat di Minangkabau ada empat macam, 1) Adat sebenar adat, 2) ada istiadat, 3) ada teradat dan 4) adat yang diadat. Hanya “adat sebenar adat” yang tidak boleh dirubah, sampai kapanpun, yakni “Adat bersenda syarak, syarak bersendi kitabullah (al-Quran). Jadi adat yang bersendi atau merujuk kepada Islam, Islam yang merujuk pada al-Quran. Jadi adat yang bersendi pada ajaran yang tercantum dalam al-Quran. Al-Quran sudah merupakan janji Allah tidak akan berubah, karena quran merupakan sunah Allah yang disampaikan melalui Rasulluhan, rasul yang terakhir adalah Nabi Muhammad SAW, tidak ada rasul lagi, maka Quran yang ada tidak akan berubah lagi.
Adat yang lain akan selalu berubah, yang secara tidak sadar berubah, dikembalikan pada ajara al-Quran, karena perubahan zaman adat bisa diganti, tetapi adat sebenar adat tidak boleh dirubah, adat-adat yang lain bias dirubah, namun semua merujuk pada pada syarak yang akhirnya berhulu pada al-Quran.
Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kibaullah, sebenarnya bukan hanya adat Minangkabau yang mengatakan itu, tetapi juga pada adat Melayu.
Kemudian, dalam pepatah lain dikatakan, “syarak mengato, adat memakai” artinya, agama adalah hukum atau kebijakan, adat pelaksanaan. Pelaksanaan yang merujuk pada kebijaksanaan.
Dalam ke Indonesiaan, sendi adalah Pancasila, sendi utama dari Pancasila tersebut adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Bagaimanpun reformasi tidak boleh merubah Pancasila, kalau sudah sangat terpaksa harus merubah sila-sila yang ada, tidak boleh merubah Ketuhanan Yang Maha Esa, karena kalau itu dirubah, maka ke-Indonesia-nya sudah bubar.
Kalau orang Minang, sudah keluar dari adat bersenda syarak, syarak bersendi kitabullah, secara adat ia bukan orang Minang lagi, ia hanya keturuan orang Minang secara biologis. Orang Indonesia yang tidak mengakui Pancasila, dan dalam kehidupan tidak menerapkan Pancasila, dan tidak ber- Ketuhanan Yang Esa, ia bukan lagi bangsa Indonesia, tetapi sebagai warga negara saja. Oleh sebab itu salah satu persyaratan menjadi pejabat negara harus orang yang takwa (beriman, patuh dan taat kepada ajaran agamanya).
Reformasi tidak akan pernah berhenti, berlanjutnya reformasi Indonesia tetap merujuk pada Pancasila, reformasi dilaksanakan karena adanya perubahan zaman, juga reformasi untuk mengembalikan yang menyimpang dari Pancasila. Itu makna luas, dari pepatah adat Minangkabau “Lapuak-lapuak dikajangi, usang-usang dibarui. (Dasril Daniel, Jambi, 25 Januari 2009)

Kamis, 22 Januari 2009

REVITALISASI

Blog ini saya buat terdorong dengan keadaan bangsa kita yang sedang tidak nyaman. merdeka secara fisik, tetapi rasanya kita tidak merdeka, menurut saya kita dijajah secara budaya, ekonomi, maupun teknologi. tetapi apakah kita dijajah, atau membiarkan diri dijajah, jawabannya antara iya dan tidak, tergantung dari mana kita memandang adan siap yang memndang.
Kita harus bangkit.
Tuhan tidak akan akan merubah nasib suatu kaum (keluarga/komunitas/bangsa) kalau kaum itu sendari merubah nasibnya. Tuhan mengatakan dengan kata-kata kaum atau kelompok, artinya merubah nasib itu harus bersama-sama, tidak sendiri-sendiri. jadi harus ada resa senasib sepenanggungan.
Kita bisa bangkit, kita perlu merasa tegak sama tinggi, duduk sama rendah. apakah kita sudah demikian. Selagi kita membangga-banggakan budaya asing, teknologi asing, produk-produk luar negeri, meniru-niru budaya asing, itu artinya kita tidak bangga sebagai bangsa Indonesia, saat itu kita dijajah.
Kita Harus Bangkit
Untuk bangkit, kita harus bangga dengan budaya kita. Indonesia terdiri dari berbagai etnis dan suku. masing-masing punya budaya yang tinggi. kita gali budaya tersebut, kita intrepretasikan dengan zaman sekarang, sehingga semua kita mengerti dengan keadaan kekinian. tidak merubah, tetapi penafsiaran ulang. dari penafsiran ulang tersaebut kita paham budaya kita tinggi, sama dengan bangsa lain, orang muda bisa memahami, ia akan menghormati dan bangga dengan budaya, maka ia merdeka dalam budaya, kemudian akan diikuti merdeka dibidang ekonomi, teknologi dan yang lainnya
Saya kebetulan, dilahirkan dari suku Minangkabau, saya lebih paham dari budaya suku lain, saya akan coba menafsirkan ulang petatan petitih dengan kekinian, karena budaya Minang yang lebih saya pahami dari budaya lain. Saya mengharapkan, atau mungkin sudah lebih dahulu melakukan hal yang sama, kita revitalisasi budaya kita sehingga bisa yang muda lebih memehami, dan dari suku yang lain juga demikian adaya yang menulis, kita salang memehami budaya suku kita masing-masing, ada persamaan adan ada perbedaan, yang berbeda kita ambil hikmanya, dari perbedaan tibul sesuatu yang baru, yang baru itu yang akan merekat bangsa Indonesia atau yang sama ditambah yang baru menjadi bangsa Indonesia yang satu.
Revitalisasi
Orang Minangkabau mengatakan "Mambangkiek Batang Tarandam". Batang, pohon,tiang atau balok kayu, karena sesuatu hal terbenam kedalam lumpur. balok kayu yang berharaga, karena sesuatu hal terbenam dalam lumpur, ini harus diangkat ke permukaan. tidak bisa sendiri, harus bersama. Ibaranya adalah kalau kita sedang terpuruk saat ini kita harus bangkit bersama, tidak sendiri-sendi. ekonomi kita terpuruk, kita angkat bersama.
Mambangiek batang tarandam dapat ditafsirkan "Gerakan Bangkit Kembali". tahun 2008 kita sudah mulai "gerakan bangkit kemabali" membangkita rasa kebangsaan, membangkitkan harga diri bangsa, membangkitkan rasa kebangsaan, membangkitakan ekonomi bangsa, membangkitan teknologi bangsa. Revitalissi Bangsa Indoneisi.
Mambangkiek Batang Tarandam.