Minggu, 25 Januari 2009

KOMUNIKASI

DALAM hidup kita tidak, bias sendiri, kita makhluk social, yang harus berhubungan dengan orang lain, maka berkomunikasi dengan orang merupakan suatu keharusan, berkomunikasi dengan anak-istri atau suami, berkumunikasi dengan tetangga, berkomunikasi dengan dengan teman sekantor, seprofesi, seorganisasi, separtai, dan seterusnya.
Komunikasi adalah upaya untuk menyampaikan pikiran dan prasaan seseorang dengan orang lain tahu, mengerti, paham dan dengan sukarela mau mengikuti apa yang kita kehendaki, dan sebaliknya.
Banyak cara untuk berkomunikasi, tetapi yang paling umum dan banyak digunakan melalui pembicaraan atau tulisan, atau papun caranya komunikan (orang yang menerima pesan memahami apa yang disampaikan komunikator baik langsung maupun tidak langsung (media komunikasi), dan diharapkan adanya umpan balik (feedback) yang menyenangkan kedua belah pihak, sehingga ada sesuatu tindak lanjut yang sama-sama memuaskan kedua belah pihak.
Pepatah minang mengatakan, “kok pandai mangicek, bantuak santan jo tangguli, kalau indak pandai mangicek, bantuak alu pancukiah duri, alunyo patah, kaki hancuuah, duri indak kalua”. Terjemahannya adalah, “ kalau pandai berbicara (berkomunikasi, mengeluarkan pendapat dan peraan), seperti santan dicampur gula merah (enak, manis gurih, legit), kalau tidak pandai bebicara, seperti alu (alat penumbuk pada lesung), pencongkel duri (pada telapak kaki yang bias kena duri), kaki hancur ditumbuk alu, alu patah karena kuatnya menumbuk, duri tidak keluar (maksud tidak tercapai, masalah tidak selesai, tambah masalah baru, dan timbul pula kerugian baru).
Apakah tidak seperti itu sekarang, komunikasi antara elit, komunikasi politik, komunikasi rakyat dengan pemerintah, komunikasi pemerintah dengan rakyat, komunikasi antara partai politik, komunikasi antara lembaga negara dan serus seterunya.
Kadangkala, bukan substansial yang membuat masalah, tetapi salah momen, salah cara, salah pilihan kata, tetapi juga salah yang tidak disengaja, mungkin salah yang disengaja karena ada kepentingan pribadi atau kelompok yang berlebihan, mengalah kepentingan orang banyak rakyat.
Pepatah Minang mengajarkan, “gadang indak melendoh, ketek indak menyundik” artinya “besar (kekuasaan, kekayaan, pengaruh) tidak untuk menginjak, kecil (kekuasaan, kekayaan, pengaruh) tidak untuk merongrong). Karena membuat hidup tidak nyaman. Selanjutnya “ nan gadang manyayang nan ketek, nan ketek manghormati nan gadang” besar atau kecil bias itu nasib atau takdir, tetapi sama-sama dibutuhkan dalam kehidupan. Hidup harmonis dalam perbedaan “ kayu dalam rimbo indak ado nan samo tinggi” perbedaan pasti ada.
Mengapa gadang melendoh, ketek manyondik, karena mungkin besar bukan karena dianjuang orang banyak, tetapi dengan cara lain, mungkin karena politik uang, bujuk rayu, atau tipu politik, besar disini bukan ditujukan yang memerintah, tetapi besar di parlemen, besar di bisnis, besar di oraganisasi. Orang besar karena dianjuang orang banyak, (di tinggi orang lain, adalah orang yang menyangi orang banyak, berapa yang ada sekarang orang besar karena menyayangi, mengayomi, melayani orang banyak). Rebab saja yang akan menyampaikan.
Dalam komunikasi, harus mampu mengendalikan diri “harimau dalam paruik, kambiang juo nan kalua” artinya, bukan komunikasi munafik, tetapi komunikasi yang penuh pengendalian diri dan emosi, pandai memlik waktu, cara, media, dan kata-kata, dan pandai berargumentasi. Yang pantas berbisik ya berbisik, yang perlu dalam forum terbatas, pada forum terbatas, yang melalui media public, melalui media public, yang pantas melalui media massa ya melalui media massa. Masak menasehati kawan berteriak melalui media masa, masak menuntut pakai kata-kata pokonya, seperti orang berbuat untuk kita saja. Pilih kata-kata yang tepat dan santun, kata yang tidak santun akan dibalas juga dengan kata yang tidak santun, itulah alu pencongkel duri, itulah harimau dalam perut, harimau juga yang keluar. Itulah yang kita rasakan sekarang. (Dasril Daniel, Jambi, 250109)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar