Sabtu, 31 Januari 2009

NEGOSIASI

Negosiasi adalah suatu peristiwa harian yang kita lakukan baik sadar maupun tidak sadar, kita tawar menawar di pasar tradisonal, membuat janji bertemu mitra, pacar, teman dan lain sebaginya, kita rapat, musyawarah untuk mencari kesepakatan, kita berunding dalam rangkan bisnis pada perusahan-perusahan besar, parlemen bersidang mencari kesepakatan dalam menyetujui suatu undang-undang, negara dengan negara juga berunding baik bilateral maupun multilateral untuk mencapai kesepakatan, negara bermusuhan juga berunding untuk mencapai kesepakatan damai atau menyelesaikan konflik.
Berunding terjadi karena ada perbedaan kepentingan, namun mempunya tujuan yang sama untuk mencapai kesepakatan dan berkomitmen melakukan komitmenya. Hasil terbaik yang hendak dicapai adalah sama-sama menang (win-win), tetapi yang bias terjadi adalah kalah menang, atau kalah-kalah.
Berunding dalam pada budaya Minang dikatakan “duduak surang basampiek-sampiek, duduak basamo balapang-lapang” bila sesuatu dipikirkan sendiri atau dikerjakan sendiri, hidup akan susah, tetapi kalau dipikirkan bersama-sama dan dikerjakan bersama, hidup akan mudah.
Perundingan dikatakan juga “barundiang untuak macari kato sapakat” kata sepakat yang utuh, sehingga bias direalisasikan oleh para pihak dan dikatakan “bulek aia dek pambuluh, bulek kato dek mupakat, kok bulek bias digolongkan, kok picak bias dilayangkan” artinya kesepakatan yang utuh dari perundingan, kesepakat yang dapat dilaksanakan oleh para pihak yang berunding dan membuat kesepakatan tersebut.
Kesepakatan yang tidak utuh dan dipaksakan tidak menghasilkan kesepakatan yang dengan sukarela dilaksanakan oleh para pihak itu dikatakan “bulek basandiang” atau bulat tetapi bersegi, jadi kalau digelindingan tidak baik, bias tersangkut atau mudah berhenti ditengah sebelum sampai tujuan. Ini terjadi pada negosiasi menang kalah (win loss).
Perundingan yang tidak seimbang tersebut sering terjadi pada negara kuat dengan negara lemah, antara pejabat dengan bawahannya, antara CEO dengan menejernya, antara partai besar dengan partai kecil dan seterusnya. Ini terjadi kalau “gadang nak malendoh, barek nak maimpik” artinya besar hendak menabrak yang kecil, yang berat hendak menghimpit atau menginjak yang kecil. Seharusnya “Gadang nak manyayang” yang besar mengayomi yang kecil, yang kaya mengayomi yang miskin, yang pandai mengajar yang bodoh), hasilnya adalah yang kecil, miskin, bodoh akan menghormati yang kuat, besar, pandai, dan kaya hidup jadi harmonis dalam perbedaan. Sebalinya yang kuat menginjak yang lemah, yang besar menabrak yang kecil, yang kaya mengambil rezeki yang miskin, yang pandai membodohi yang yang bodoh, hidup dalam perbedaan dengan konflik, tidak nyaman. Yang kuat tambah kuat, yang besar tambah besar, yang kaya tambah kaya, yang pandai tambah pandai, sebaliknya yang lemah tambah lemah, yang kecil tambah kecil, yang miskin tambah miskin, yang bodoh tambah bodoh akhirnya mereka yang kecil-kecil ini mengecil menjadi duri, dan menusuk daging yang besar, hidup tidak yang besar jadi tidak nyaman pula, celakanya bagai mana kalau yang kecil jadi semut masuk kekuping gajah, yang akhirnya membanting kepalanya kebatu sampai pecah. Kecil ada kelebihan, besar ada kelemahan, tidak ada manusia yang sempurna. Itu sebabnya harus dihindari perundingan yang hasilnya kalah menang.
Hasil yang ketiga, kalah-kalah (loss-loss), ini terjadi perundingan pada perundingan dalam rangka menyelesaikan konflik, oleh sebab itu hidari konflik, karena untuk berdamai atau menyelesaikan konflik harus semua pihak kalah, pilihanya kalah dipaksa, atau kalah mengalah. Mengalah untuk menang. “mangalah kalau lai ka manang”. Kalau tidak mau kalah-kalah, jangan berunding kalah menang, atau jangan memaksakan kehendak.
Kapan berunding, kata bijak mengatakan “barundiang sasudah makan, bakato salapeh arak”, bukan orang Minang tukang makan karena banyak restoran Padang, tetapi berunding dalam kedaan tidak lapar, berbicara tidak dalam keadaan letih. Kalau berunding dalam keadaan lapar dan letih pikiran tidak jernih, semua aspek tidak terkaji, bias saja tercapai kesepakatan yang merugikan tanpa disadari.
Tetapi salah satu pihak yang menginginkan perundingan dimenangkannya strategi melaparkan dan melelahkan sering diciptakan, sebagai suatu strategi, itulah rapat perundingan marathon berjam-jam sehingga bias memaksakan kehendak, ini perlu dipehtikan oleh para perunding(Dasril Daniel 310109)

Minggu, 25 Januari 2009

KOMUNIKASI

DALAM hidup kita tidak, bias sendiri, kita makhluk social, yang harus berhubungan dengan orang lain, maka berkomunikasi dengan orang merupakan suatu keharusan, berkomunikasi dengan anak-istri atau suami, berkumunikasi dengan tetangga, berkomunikasi dengan dengan teman sekantor, seprofesi, seorganisasi, separtai, dan seterusnya.
Komunikasi adalah upaya untuk menyampaikan pikiran dan prasaan seseorang dengan orang lain tahu, mengerti, paham dan dengan sukarela mau mengikuti apa yang kita kehendaki, dan sebaliknya.
Banyak cara untuk berkomunikasi, tetapi yang paling umum dan banyak digunakan melalui pembicaraan atau tulisan, atau papun caranya komunikan (orang yang menerima pesan memahami apa yang disampaikan komunikator baik langsung maupun tidak langsung (media komunikasi), dan diharapkan adanya umpan balik (feedback) yang menyenangkan kedua belah pihak, sehingga ada sesuatu tindak lanjut yang sama-sama memuaskan kedua belah pihak.
Pepatah minang mengatakan, “kok pandai mangicek, bantuak santan jo tangguli, kalau indak pandai mangicek, bantuak alu pancukiah duri, alunyo patah, kaki hancuuah, duri indak kalua”. Terjemahannya adalah, “ kalau pandai berbicara (berkomunikasi, mengeluarkan pendapat dan peraan), seperti santan dicampur gula merah (enak, manis gurih, legit), kalau tidak pandai bebicara, seperti alu (alat penumbuk pada lesung), pencongkel duri (pada telapak kaki yang bias kena duri), kaki hancur ditumbuk alu, alu patah karena kuatnya menumbuk, duri tidak keluar (maksud tidak tercapai, masalah tidak selesai, tambah masalah baru, dan timbul pula kerugian baru).
Apakah tidak seperti itu sekarang, komunikasi antara elit, komunikasi politik, komunikasi rakyat dengan pemerintah, komunikasi pemerintah dengan rakyat, komunikasi antara partai politik, komunikasi antara lembaga negara dan serus seterunya.
Kadangkala, bukan substansial yang membuat masalah, tetapi salah momen, salah cara, salah pilihan kata, tetapi juga salah yang tidak disengaja, mungkin salah yang disengaja karena ada kepentingan pribadi atau kelompok yang berlebihan, mengalah kepentingan orang banyak rakyat.
Pepatah Minang mengajarkan, “gadang indak melendoh, ketek indak menyundik” artinya “besar (kekuasaan, kekayaan, pengaruh) tidak untuk menginjak, kecil (kekuasaan, kekayaan, pengaruh) tidak untuk merongrong). Karena membuat hidup tidak nyaman. Selanjutnya “ nan gadang manyayang nan ketek, nan ketek manghormati nan gadang” besar atau kecil bias itu nasib atau takdir, tetapi sama-sama dibutuhkan dalam kehidupan. Hidup harmonis dalam perbedaan “ kayu dalam rimbo indak ado nan samo tinggi” perbedaan pasti ada.
Mengapa gadang melendoh, ketek manyondik, karena mungkin besar bukan karena dianjuang orang banyak, tetapi dengan cara lain, mungkin karena politik uang, bujuk rayu, atau tipu politik, besar disini bukan ditujukan yang memerintah, tetapi besar di parlemen, besar di bisnis, besar di oraganisasi. Orang besar karena dianjuang orang banyak, (di tinggi orang lain, adalah orang yang menyangi orang banyak, berapa yang ada sekarang orang besar karena menyayangi, mengayomi, melayani orang banyak). Rebab saja yang akan menyampaikan.
Dalam komunikasi, harus mampu mengendalikan diri “harimau dalam paruik, kambiang juo nan kalua” artinya, bukan komunikasi munafik, tetapi komunikasi yang penuh pengendalian diri dan emosi, pandai memlik waktu, cara, media, dan kata-kata, dan pandai berargumentasi. Yang pantas berbisik ya berbisik, yang perlu dalam forum terbatas, pada forum terbatas, yang melalui media public, melalui media public, yang pantas melalui media massa ya melalui media massa. Masak menasehati kawan berteriak melalui media masa, masak menuntut pakai kata-kata pokonya, seperti orang berbuat untuk kita saja. Pilih kata-kata yang tepat dan santun, kata yang tidak santun akan dibalas juga dengan kata yang tidak santun, itulah alu pencongkel duri, itulah harimau dalam perut, harimau juga yang keluar. Itulah yang kita rasakan sekarang. (Dasril Daniel, Jambi, 250109)

Sabtu, 24 Januari 2009

REFORMASI

REFORMASI

SEMENJAK tahun 1998, suatu kata yang sangat terkenal adalah “reformasi” dan sudah lebih sepuluh tahun banyak orang menyesalkan sampai sekarang reformasi belum selesai, sebenarnya reformasi tidak akan pernah selesai, dan akan terus bergulir sampai akhir zaman.
Budaya Minang telah lama mengenal reformasi, hal ini dapat suatu istilah “lapuak-lapuak dikajangi, using-usang, dibarui” terjemahan dalam bahasa Indonesia, kalau lapuk diganti, kalau usang (tidak sesuai zaman) di perbarui.
Ibarat, sebuah banguan rumah, karena usia, hujan dan panas, aka nada bagian-bagian rumah yang yang lapuk, genteng yang pecah, kusen yang lapuk, bagian-bagian kecil ini diganti dengan yang baru, atau kalau ada yang perlu disanggah, ya disanggah.
Namun ruhah yang ada tersebut, tidak cocok lagi dengan perkembangan zaman, atau kebutuhan orang penghuni rumah berubah, maka dilakukan penggantian, atau penyesuaian-penyesuaian. Lapuak lapuak dikajangi, usang-usang dibarui, tanpa merubah fondasi rumah tersebut. Kalau mengganti sendi, artinya sudah membangun rumah baru.
Di Dunia yang fana ini tentu akan selalu terjadi perubahan. Perubahan karena lingkungan yang berubah, perubah karena kebutuhan, harapan dan selera yang berubah, berubah karena perubahan teknologi dan lain sebagainya. Apa pun perubahan, dalam Adat Minangkabau ada satu yang tidak boleh berubah, kalau adat tersebut, habislah ke-Minangkabau-an-nya.
Adat di Minangkabau ada empat macam, 1) Adat sebenar adat, 2) ada istiadat, 3) ada teradat dan 4) adat yang diadat. Hanya “adat sebenar adat” yang tidak boleh dirubah, sampai kapanpun, yakni “Adat bersenda syarak, syarak bersendi kitabullah (al-Quran). Jadi adat yang bersendi atau merujuk kepada Islam, Islam yang merujuk pada al-Quran. Jadi adat yang bersendi pada ajaran yang tercantum dalam al-Quran. Al-Quran sudah merupakan janji Allah tidak akan berubah, karena quran merupakan sunah Allah yang disampaikan melalui Rasulluhan, rasul yang terakhir adalah Nabi Muhammad SAW, tidak ada rasul lagi, maka Quran yang ada tidak akan berubah lagi.
Adat yang lain akan selalu berubah, yang secara tidak sadar berubah, dikembalikan pada ajara al-Quran, karena perubahan zaman adat bisa diganti, tetapi adat sebenar adat tidak boleh dirubah, adat-adat yang lain bias dirubah, namun semua merujuk pada pada syarak yang akhirnya berhulu pada al-Quran.
Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kibaullah, sebenarnya bukan hanya adat Minangkabau yang mengatakan itu, tetapi juga pada adat Melayu.
Kemudian, dalam pepatah lain dikatakan, “syarak mengato, adat memakai” artinya, agama adalah hukum atau kebijakan, adat pelaksanaan. Pelaksanaan yang merujuk pada kebijaksanaan.
Dalam ke Indonesiaan, sendi adalah Pancasila, sendi utama dari Pancasila tersebut adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Bagaimanpun reformasi tidak boleh merubah Pancasila, kalau sudah sangat terpaksa harus merubah sila-sila yang ada, tidak boleh merubah Ketuhanan Yang Maha Esa, karena kalau itu dirubah, maka ke-Indonesia-nya sudah bubar.
Kalau orang Minang, sudah keluar dari adat bersenda syarak, syarak bersendi kitabullah, secara adat ia bukan orang Minang lagi, ia hanya keturuan orang Minang secara biologis. Orang Indonesia yang tidak mengakui Pancasila, dan dalam kehidupan tidak menerapkan Pancasila, dan tidak ber- Ketuhanan Yang Esa, ia bukan lagi bangsa Indonesia, tetapi sebagai warga negara saja. Oleh sebab itu salah satu persyaratan menjadi pejabat negara harus orang yang takwa (beriman, patuh dan taat kepada ajaran agamanya).
Reformasi tidak akan pernah berhenti, berlanjutnya reformasi Indonesia tetap merujuk pada Pancasila, reformasi dilaksanakan karena adanya perubahan zaman, juga reformasi untuk mengembalikan yang menyimpang dari Pancasila. Itu makna luas, dari pepatah adat Minangkabau “Lapuak-lapuak dikajangi, usang-usang dibarui. (Dasril Daniel, Jambi, 25 Januari 2009)

Kamis, 22 Januari 2009

REVITALISASI

Blog ini saya buat terdorong dengan keadaan bangsa kita yang sedang tidak nyaman. merdeka secara fisik, tetapi rasanya kita tidak merdeka, menurut saya kita dijajah secara budaya, ekonomi, maupun teknologi. tetapi apakah kita dijajah, atau membiarkan diri dijajah, jawabannya antara iya dan tidak, tergantung dari mana kita memandang adan siap yang memndang.
Kita harus bangkit.
Tuhan tidak akan akan merubah nasib suatu kaum (keluarga/komunitas/bangsa) kalau kaum itu sendari merubah nasibnya. Tuhan mengatakan dengan kata-kata kaum atau kelompok, artinya merubah nasib itu harus bersama-sama, tidak sendiri-sendiri. jadi harus ada resa senasib sepenanggungan.
Kita bisa bangkit, kita perlu merasa tegak sama tinggi, duduk sama rendah. apakah kita sudah demikian. Selagi kita membangga-banggakan budaya asing, teknologi asing, produk-produk luar negeri, meniru-niru budaya asing, itu artinya kita tidak bangga sebagai bangsa Indonesia, saat itu kita dijajah.
Kita Harus Bangkit
Untuk bangkit, kita harus bangga dengan budaya kita. Indonesia terdiri dari berbagai etnis dan suku. masing-masing punya budaya yang tinggi. kita gali budaya tersebut, kita intrepretasikan dengan zaman sekarang, sehingga semua kita mengerti dengan keadaan kekinian. tidak merubah, tetapi penafsiaran ulang. dari penafsiran ulang tersaebut kita paham budaya kita tinggi, sama dengan bangsa lain, orang muda bisa memahami, ia akan menghormati dan bangga dengan budaya, maka ia merdeka dalam budaya, kemudian akan diikuti merdeka dibidang ekonomi, teknologi dan yang lainnya
Saya kebetulan, dilahirkan dari suku Minangkabau, saya lebih paham dari budaya suku lain, saya akan coba menafsirkan ulang petatan petitih dengan kekinian, karena budaya Minang yang lebih saya pahami dari budaya lain. Saya mengharapkan, atau mungkin sudah lebih dahulu melakukan hal yang sama, kita revitalisasi budaya kita sehingga bisa yang muda lebih memehami, dan dari suku yang lain juga demikian adaya yang menulis, kita salang memehami budaya suku kita masing-masing, ada persamaan adan ada perbedaan, yang berbeda kita ambil hikmanya, dari perbedaan tibul sesuatu yang baru, yang baru itu yang akan merekat bangsa Indonesia atau yang sama ditambah yang baru menjadi bangsa Indonesia yang satu.
Revitalisasi
Orang Minangkabau mengatakan "Mambangkiek Batang Tarandam". Batang, pohon,tiang atau balok kayu, karena sesuatu hal terbenam kedalam lumpur. balok kayu yang berharaga, karena sesuatu hal terbenam dalam lumpur, ini harus diangkat ke permukaan. tidak bisa sendiri, harus bersama. Ibaranya adalah kalau kita sedang terpuruk saat ini kita harus bangkit bersama, tidak sendiri-sendi. ekonomi kita terpuruk, kita angkat bersama.
Mambangiek batang tarandam dapat ditafsirkan "Gerakan Bangkit Kembali". tahun 2008 kita sudah mulai "gerakan bangkit kemabali" membangkita rasa kebangsaan, membangkitkan harga diri bangsa, membangkitkan rasa kebangsaan, membangkitakan ekonomi bangsa, membangkitan teknologi bangsa. Revitalissi Bangsa Indoneisi.
Mambangkiek Batang Tarandam.